Pasar Tembakau Indonesia Melemah Konsumen Alih ke Rokok Ilegal
"Pasar Tembakau Indonesia Melemah Konsumen Alih ke Rokok Ilegal"
Pasar rokok legal di Indonesia negara dengan konsumsi tembakau terbesar ketiga di dunia mengalami penurunan tajam akibat perlambatan ekonomi, meningkatnya pengangguran, dan bergesernya preferensi konsumen ke produk ilegal yang lebih murah.
Industri tembakau Indonesia kini menghadapi tekanan berat. Menurut laporan keuangan terbaru, konsumsi produk rokok legal anjlok signifikan di tengah kondisi ekonomi yang melemah dan daya beli masyarakat yang merosot. Peningkatan cukai rokok sebesar 67,5 persen sejak 2020 telah menyebabkan lonjakan harga yang mendorong konsumen beralih ke rokok ilegal yang harganya bisa kurang dari sepertiga produk legal.
Sebagai pasar rokok terbesar ketiga di dunia, Indonesia menghadapi dilema: penurunan konsumsi rokok legal berdampak pada penerimaan cukai negara, sementara pergeseran ke produk ilegal menimbulkan risiko kesehatan dan keamanan lebih besar. Rokok dan tembakau tercatat menyumbang sekitar 6 persen dari pengeluaran rumah tangga rata-rata setiap bulan jumlah yang lebih tinggi dibandingkan pendidikan suatu fakta yang menunjukkan betapa berat beban tembakau terhadap keluarga miskin.
Pemerintah telah mengumumkan bahwa untuk tahun anggaran 2026 tidak akan menaikkan tarif cukai rokok sebagai respons terhadap booming pasar ilegal. Namun, langkah ini dinilai sementara oleh pengamat sebagai “penghentian luka” daripada solusi jangka panjang.
Perusahaan besar seperti PT HM Sampoerna Tbk dan PT Gudang Garam Tbk telah melaporkan penurunan penjualan dan harga saham karena dampak gabungan dari tekanan ekonomi dan pergeseran pasar. Dengan informalitas pekerjaan yang kini mencakup sekitar 60 persen dari total tenaga kerja, pembayaran premi tembakau bisa menjadi salah satu beban terakhir yang dikorbankan oleh rumah tangga kelas menengah ke-bawah.
Dampak lain muncul di sektor penerimaan negara. Dalam kondisi normal, cukai rokok menyumbang sekitar US$13 miliar atau 7,5 persen dari total penerimaan negara. Jika tren penurunan konsumsi legal terus berlangsung, pemerintah menghadapi risiko berkurangnya sumber penerimaan yang selama ini memitigasi beban subsidi dan defisit fiskal.
Di sisi keamanan dan kesehatan, peningkatan konsumsi rokok ilegal juga membawa risiko besar: produk ilegal sering kali diproduksi tanpa pengawasan keamanan dan mutu yang memadai, sehingga potensi bahaya kesehatan meningkat. Selain itu, pasar ilegal sering dikaitkan dengan jaringan penyelundupan dan kriminalitas.
Pengamat industri menyarankan pemerintah untuk memperkuat langkah-penegakan hukum terhadap rokok ilegal, meningkatkan edukasi publik mengenai risiko tembakau, dan memperbaiki mekanisme peraturan agar cukai rokok tidak mendorong pasar ilegal. Mereka juga menyarankan diversifikasi sumber penerimaan negara agar tidak terlalu tergantung pada industri yang risiko jangka panjangnya semakin besar.
Kesimpulannya, industri tembakau Indonesia tengah mengalami fase kritis. Penurunan konsumsi rokok legal bukan hanya masalah bisnis, tetapi sinyal perubahan sosial ekonomi yang lebih luas — salah satunya yaitu rumah tangga yang harus memilih antara rokok dan kebutuhan dasar lainnya. Bagi pemerintah, tantangannya bukan hanya menegakkan regulasi tembakau, tetapi mengelola dampak fiskal dan sosial dari perubahan pasar ini secara menyeluruh.